My Favorite Travel Quotes

"The world is a book and those who do not travel read only one page - St. Augustine", "I have found out that there ain't no surer way to find out whether you like people or hate them than to travel with them - Mark Twain", "If the traveler can not find master or friend to go with him, let him travel alone rather than with a fool for company - Budha", "Traveling is about the journey not the destination - Anonymous", "Traveling brings love and power back to your life - Rumi".

Sabtu, 17 Januari 2015

KETIKA KEMATIAN MENJADI WISATA, DAYA TARIK TANA TORAJA YANG MENDUNIA

Sudah lama saya mendengar keunikan wisata di Tana Toraja. Ya bagaimana tidak unik, jika daerah lain mengandalkan alam, kuliner atau belanja sebagai pariwisatanya, Tana Toraja menawarkan wisata kuburan sebagai daya Tarik wisatanya. Terlebih dengan upacara pemakaman mayat yang dikenal dengan sebutan “Rambu Solok”. Upacara yang menelan biaya hingga miliaran juta ini selalu menyedot perhatian wisatawan local maupun asing sehingga berduyun-duyun datang ke Tana Toraja untuk melihatnya.

Si hitam yang harganya aduhai
Dalam upacara rambu solok, keluarga yang berduka biasanya memberikan persembahan berupa babi dan kerbau. Kerbau atau Tedong dalam masyarakat Tana Toraja merupakan simbol status sosial. Rumah adat suku Toraja yang disebut Tongkonan dihiasi dengan tanduk tedong. Semakin banyak tedong yang dikurbankan, menandakan semakin tinggi status sosial pemiliknya. Pemilik rumah memajang tanduk tedong dibagian depan tongkonan berderet dari atas hingga ke bawah. Ada tiga jenis tedong yang biasa digunakan dalam upacara. Kerbau putih atau tedong putih, kerbau hitam atau biasa disebut tedong saja dan kerbau belang atau disebut Tedong Bonga. Diantara ketiga jenis kerbau atau tedong tersebut Tedong Bonga menempati urutan puncak strata kerbau. Hasil iseng bertanya ke penduduk lokal harga seekor Tedong hitam biasa berkisar Rp160 juta, dan seekor tedong bonga konon harganya sama dengan sebuah mobil ferari, wooww.... fantastis!

Berangkat dari cerita keunikan upacara pemakaman Rambu Solok, kuburan tebing, kuburan gua, tedong dan tongkonan saya menyusun rencana pergi ke Tana Toraja. Hasrat hati seakan sulit dibendung, setiap kali melihat gambar Tongkonan di internet, hati saya berdesir-desir seperti orang yang sedang kasmaran, menunggu waktu untuk bertemu. Halahh!

Penampakan sleeper bus.
Dilengkapi selimut dan guling
Saya sengaja mengambil penerbangan sore hari agar tiba di Makassar malam hari. Setiba di Makassar langsung bersiap menunggu bus Bintang Prima dengan rute Makassar - Toraja. Perjalanan menuju Tana Toraja hanya dapat ditempuh dengan menggunakan jalan darat saja. Bus menuju Toraja hanya tersedia 2 jam keberangkatan, pagi pukul 09.00 dan malam hari pukul 21.00 dengan lama waktu perjalanan sekitar 9 sampai 10 jam. Tidak usah khawatir, perjalanan yang panjang akan terasa nyaman dengan sleeper bus yang setiap kursinya dilengkapi dengan sistem reclying seat yang bisa direbahkan hingga hampir 180 derajat dan fasilitas guling dan selimut karena AC busnya super dingin. Busnya pun bagus-bagus dengan pengemudi profesional yang sudah paham medan perjalanan menuju Tana Toraja. Bagi pejalan yang tidak memiliki waktu banyak, sebaiknya mengambil jam keberangkatan malam agar tiba di Rantepao pagi hari. Setiba di Rantepao, bisa mencari penyewaan motor yang terletak didekat lapangan Rantepao. Gunakan rute yang efektif agar perjalanan maksimal dan tidak ada yang terlewatkan.

Londa, makam didalam tebing batu
Rute yang saya gunakan adalah mengunjungi obyek wisata kuburan di Lemo terlebih dahulu. Ciri khas makam di Lemo adalah meletakan peti mati didalam tebing yang dipahat membentuk ceruk. Terbayang tingkat kesulitannya memahat tebing batu yang keras dan mengusung peti mati kedalam tebing. Luar biasa sekali upaya yang dilakukan. Dibagian depan tebing tampak beberapa Tau-tau atau boneka yang menyerupai orang yang sudah meninggal. Konon profesi sebagai pembuat Tau-tau sudah semakin langka di Toraja. Hingga saat ini hanya ada 2 orang saja yang terkenal keahliannya membuat Tau-tau. Oya, ternyata tidak semua yang meninggal bisa dibuatkan Tau-tau. Hanya kalangan tertentu saja yang diperbolehkan dibuatkan Tau-tau. Dari tebing makam, berjalanlah kearah jalan setapak. Ikuti terus jalan tersebut, anda akan menemukan toko souvenir khas Toraja yang letaknya cukup tersembunyi.

Boneka Tau-tau didepan pemakaman Londa
Rute berikutnya mengunjungi obyek wisata kuburan di Londa yang terletak 7km di arah selatan kota Rantepao. Ciri khas pemakaman di Londa adalah meletakan peti mati didalam gua. Pemakaman di dalam gua Londa ini dikhususkan bagi orang Toraja yang bermarga Tolengke, dan boneka Tau-tau yang terletak diatas gua Londa menandakan bahwa almarhum merupakan seorang bangsawan. Didalam gua beberapa peti mati bahkan sudah hancur dan menampakan tulang belulang serta tengkorak kepala manusia. Londa merupakan tempat pemakaman untuk leluhur suku Tolengke. Jika anda cukup berani, tidak ada salahnya mengikuti pemandu gua masuk kedalam hingga ke ujung yang tersempit. Pengalaman yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Pemandu akan menyorotkan sinar senter untuk membantu kita melihat bagian dalam gua. Uniknya, saya tidak mencium bau busuk mayat dan tidak terdapat tikus seekor pun padahal peti mati dan tulang belulang berserakan dimana-mana. Keluarga peziarah biasanya membawakan minuman untuk yang sudah meninggal. Minuman kemasan dalam botol tersebut ditinggalkan didalam gua. Tadinya saya pikir itu sampah yang ditinggalkan oleh keluarga peziarah ternyata itu merupakan sesaji bagi yang sudah meninggal. Pengetahuan baru saya dapatkan dari tradisi unik suku Toraja. 

Spot favorit para pejalan, berlatar Tongkonan!
Selepas berziarah di Londa, arahkan kendaraan menuju Kete’ Kesu, obyek wisata paling popular di Tana Toraja. Letaknya di kampung Bonoran Sanggalangi, sekitar 4km dari Rantepao. Disinilah pusat makam Toraja dan rumah adat/Tongkonan yang terbesar lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi). Kalau anda pernah membeli kartu pos Toraja dengan gambar Tongkonan, maka gambar tersebut diambil dari deretan Tongkonan yang ada di Kete’ Kesu. Beberapa tongkonan memiliki deretan tanduk tedong dari atas hingga bawah. Terbayang ya, kalau satu tedong seharga 160juta berapa nilai Tongkonan dengan deretan tanduk tedong tersebut? Saya beruntung, siang itu Kete’ Kesu belum dipadati pengunjung, jadi saya bisa mengambil beberapa gambar Kete’ Kesu tanpa ada orang lain disana. Puas mengambil gambar Tongkonan, langkahkan kaki ke arah makam. Ciri khas makam di Kete’ Kesu adalah di dalam gua.  Disalah satu sudut gua, terdapat 2 tengkorak kepala manusia. Pemandu wisata bercerita bahwa kedua tengkorak tersebut adalah sepasang kekasih yang mati bunuh diri karena cintanya tidak mendapat restu dari keluarga. Tidak ada aura mistis yang mengerikan didalam gua. Yang terasa hanya udara gua yang terasa lembab. Pemandu gua mempersilahkan pengunjung untuk mengambil foto-foto tengkorak yang ada didalam gua dengan syarat tidak memindahkan tulang ataupun tengkorak. Saya sendiri sempat berfoto dibelakang tumpukan tengkorak kepala, tapi sayangnya gambarnya agak goyang. Sepertinya teman saya yang memotret agak nervous dengan tumpukan tengkorak yang ada didepan muka saya hahahhaa agaknya diperlukan ketegaran hati untuk mengambil gambar disini.

Konon pernah ada turis asing yang iseng mencuri sebuah tengkorak dan membawa pulang ke negaranya. Ternyata roh/spirit tengkorak mengikutinya hingga ke negara asal dan terus menerus menghantui. Tengkorak kemudian dikirim ke Indonesia, tetapi roh tetap tidak berhenti menghantui. Si turis kemudian datang kembali ke Indonesia untuk mengadakan upacara dengan menyembelih seekor kerbau dan babi, barulah roh/spirit berhenti menghantui. Saat ini tengkorak yang dicuri disimpan kembali didalam museum.

Miniatur Tau-tau
Di sekitar Kete’ Kesu banyak terdapat penjual cinderamata, baik itu ukiran kayu, batik maupun patung kakek dan nenek Toraja. Uniknya di Toraja ini semua patung berwajah orangtua. Saat saya tanyakan apakah ada alasan tertentu mengapa patung hanya berwajah orangtua, penduduk disana tidak dapat menjelaskan alasannya. Mungkin itu sudah menjadi semacam tradisi bagi mereka. Bila orang dewasa yang telah meninggal dimakamkan didalam tebing atau gua, maka anak kecil yang belum tumbuh giginya dimakamkan didalam pohon. Para tetua mempercayai bahwa getah pohon menjadi susu bagi bayi. Sayangnya karena keterbatasan waktu saya tidak sempat berkunjung ke daerah yang memiliki pohon tempat menyimpan jasad anak kecil yang belum tumbuh giginya. Sekarang ini bayi yang meninggal tidak lagi dikuburkan didalam pohon tetapi dibuatkan rumah kecil.

Kurre Sumanga (terima kasih) Toraja, saya sangat menikmati perjalanan seharian disini. Perjalanan wisata tidak melulu hanya keindahan alam semesta yang memanjakan mata. Perjalanan wisata yang berlatar budaya dan sejarah seperti ini bisa menambah wawasan kita tentang negeri sendiri, Indonesia. Kalau bukan kita yang menghargai sejarah dan budaya bangsa, siapa lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar