My Favorite Travel Quotes

"The world is a book and those who do not travel read only one page - St. Augustine", "I have found out that there ain't no surer way to find out whether you like people or hate them than to travel with them - Mark Twain", "If the traveler can not find master or friend to go with him, let him travel alone rather than with a fool for company - Budha", "Traveling is about the journey not the destination - Anonymous", "Traveling brings love and power back to your life - Rumi".

Rabu, 04 Desember 2019

PESONA PULAU BANGKA

Kepulauan Bangka yang dikenal dengan hasil rempah (lada putihnya konon terbaik no 1 di dunia), karet dan tambang Timahnya membuat saya penasaran ingin menginjakkan kaki di  kepulauan yang terletak di sebelah selatan pulau Sumatera ini.

Ini kali kedua saya singgah di Kepulauan Bangka, daerah yang mempunyai pertalian darah istimewa dengan saya. Selama menjelajah Kepulauan Bangka saya tinggal di Kabupaten Pemalih, Sungailiat yang berjarak sekitar 1,5 jam dari Kota Pangkalpinang ibu kota Kepulauan Bangka. Banyak obyek wisata yang bisa dijangkau dengan mudah dari Sungailiat, sehingga posisinya cukup strategis untuk memulai petualangan ala-ala Dora (semoga berhasil..berhasil..berhasil..😁).

Mendarat di Bandara Depati Amir, Kota Pangkalpinang siang hari yang menyengat tidak menyurutkan niat dan tekad yang sudah bulat untuk langsung ngebolang. Setelah menyimpan barang-barang, bertemu dengan keluarga dan berbagi oleh0oleh titipan mamak dari rumah, tanpa menunggu matahari surut petualangan segera dimulai.

HARI KE - 1

Pantai Matras
Pantai Matras menjadi tujuan pertama saya hari ini. Pantai yang terletak di Desa Sinar Baru
Kecamatan Sungailiat ini dikenal dengan pasirnya yang putih dan lembut bak matras/kasur. Tak heran banyak wisatawan datang ke pantai ini membawa perlengkapan karpet/tikar gulung untuk sekedar bersantai diatas pasirnya yang lembut. Ada yang berbeda dengan penampilan pantai Matras di kunjungan saya yang kedua ini. Tahun 2012 Pantai Matras masih belum tertata rapih meski pantainya terlihat bersih dan pasir putihnya sama menawannya. hanya saja sentuhan pariwisata belum nampak disana. Kali ini tulisan Pantai Matras menyapa wisatawan saat memasuki area pantai. Nice.... wisatawan yang awam jadi gak tebak-tebak buah manggis pantai apakah ini namanya? hihihi... Selain itu terlihat ada gapura yang menyambut di pinggir pantai. Kami menyempatkan diri minum es kelapa muda sembari duduk santai dibelai hembusan angin pantai. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?

Hari kedua itinerary sudah tersusun padat dengan tema susur pantai 😁. Mulai dari Pantai Pasir Padi, melihat penangkaran penyu di pantai Tongaci, hingga napak tilas ke Pantai Tikus sembari mampir ke Pagoda Vihara Puri Tri Agung yang terlihat megah karena letaknya diatas bukit.

Pantai Pasir Padi
Pantai Pasir Padi merupakan salah satu pantai di Pulau Bangka. Pantai ini menghadap langsung ke Laut Natuna. Hampir semua pantai di Kepulauan Bangka memiliki pasir putih yang menawan. Serupa dengan Pantai Matras, nama Pantai Pasir Padi pun terpasang apik dipingggir pantai. Aaahh, suka sekali, sentuhan pariwisata sudah menunjukan perbedaannya. Kepulauan Bangka mulai berbenah diri dibandingkan tahun pertama kunjungan saya ke daerah tercinta ini.


Lepas dari Pantai Pasir Padi kali ini kami mengarah ke Pantai Tongaci untuk melihat penangkaran
Pantai Tongaci di siang hari
Penyu disana. Siang itu matahari terik sekali, tetapi justru semakin menguatkan keindahan pantai biru bergradasi hijau dengan pasir putih menawan dan jejeran pohon nyiur yang melambai terhembus angin kencang, ambooyyy maaakk indahnya tanah airku 💖

Rasanya panas yang menhujam di titik 35 derajat Celcius gak ada artinya dengan pemandangan di depan mata. Pesan saya jangan lupa bawa kamera buat merekam keindahan alam. Apalagi kalo kamu jones (jomblo ngenes) usahakan bawa kacamata item, biar gak baper liat yang lagi pegangan tangan dipinggir pantai 😂 

view Pantai Tikus dari atas bukit, pelataran
Vihara Puri Tri Agung
Pantai terakhir yang kami sambangi hari ini adalah pantai Tikus yang konon katanya dulu banyak sekali terdapat tikus didaerah pantai ini hiiiyyyy saya gak asli gak berani membayangkan. Satu tikus saja sudah sanggup membuat saya melengkingkan nada hingga 8 oktaf bak penyanyi seriosa apalagi melihat puluhan tikus berkeliaran, oh no! tapi tenang gaes..., itu DULU. Sekarang Pantai Tikus sudah jaaauuhhh banget perbedaannya dibandingkan tahun 2012 yang hanya berupa semak-semak dan pantai tak terurus menjelma menjadi pantai berpasir putih cantik dengan design landscape mempesona dan sebuah Pagoda berdiri megah diatas bukitnya. 

Saya hampir tidak percaya melihat perbedaannya yang terpampang nyatah. Begitu kira-kira. Pagoda Vihara Puri Tri Agung yang peletakan batu pertamanya di tahun 2012 lalu, resmi dibuka untuk umum pada tahun 2015. Konon membutuhkan waktu 12 tahun untuk mewujudkan tempat ibadah untuk umat Budha, Kogfutze dan Laotze ini. Buat kalian yang seneng banget berfoto ala-ala luar negeri, berfoto ditangga Pagoda serasa foto di China loch. Jangan lupa ambil posisi duduk di anak tangga pas dibawah kepala naga. Spot foto paling the best disitu. Tapi ingat ya, harap menjaga ketertiban dan menghormati umat yang sedang melakukan ibadah di Vihara.

Gunungan kue untuk sesaji Dewa Dewi
Kebetulan saat saya berkunjung, warga Tionghoa yang mayoritas penduduk di Kepulauan Bangka sedang menjalankan tradisi Sembahyang Rebut atau yang sering di sebut Chit Ngiat Pan dalam Bahasa Hakka dimana “Chit” yang berarti “Tujuh”, “Ngiat” yang juga bermakna “Bulan”, dan “Pan” yang berarti “Setengah” atau “Sebagian”. Sehingga Sembahyang Rebut merupakan salah satu warisan budaya Tionghoa yang jatuh pada bulan 7 tanggal 15 penanggalan kalender cina. Puncak festival Chit Ngiat Pan akan dirayakan di Pagoda Vihara Puri Tri Agung. 

Adat kepercayaan warga Tionghoa mempercayai bahwa pada Chit Ngiat Pan pintu akherat terbuka lebar dimana arwah-arwah yang berada di dalamnya keluar dan bergentayangan. Arwah-arwah tersebut turun ke dunia ada yang pulang ke rumah keluarganya ada pula yang turun dengan keadaan terlantar dan tidak terawat, sehingga para manusia akan menyiapkan ritual khusus untuk diberikan kepada arwah yang terlantar tersebut. Selain itu juga disediakan rumah-rumahan yang terbuat dari kertas, uang dari kertas dan baju-baju dari kertas pula. Barang-barang tersebut di buat memang diperuntukkan bagi para arwah.


HARI KE - 2

Bak berisi air panas alami
Pagi buta Atok sudah membangunkan saya untuk bergegas menuju pemandian air panas di Tirta Tapta Pesona yang hanya berjarak sekitar 5 menit saja dari rumah. Lokasi sumber air panas di Pemali pertama kali ditemukan pada zaman kolonial Belanda. Kala itu dilakukan eksplorasi timah oleh perusahaan B.T.W. (Bangka Tin Winning Bedrijt) yaitu perusahaan milik Belanda yang khusus bergerak disektor pertambangan timah di Pulau Bangka.  Pagi buta berendam air hangat alami yang mengandung belerang membuat badan terasa rileks dan fresh sesudahnya. Konon katanya Pemandian Air panas Bangka, berasal dari air tanah aktif yang mengeluarkan belerang. Zat ini sangat cocok bagi wisataan yang ingin menghilangkan rasa penat atau pegal-pegal. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang percaya bahwa pemandian air panas Bangka ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit


Kelenteng Cetya Dharma
Memanfaatkan sisa waktu dengan menjelajah rumah ibadah di Kabupaten Sungailiat dan perkebunan Pala, saya cukup kagum dengan toleransi beragama yang terpelihara dengan baik di Kepulauan Bangka khususnya daerah Sungailiat ini. Tidak jarang saya temukan Kelenteng dan Mesjid berdiri tegak berdampingan tanpa adanya sentimen ataupun keluhan satu sama lain. Sayangnya foto mesjid dengan sentuhan budaya Tionghoa tidak sempat saya abadikan. Salah satu rumah ibadah yang sempat saya abadikan adalah Kelenteng Cetya Dharma yang malam nanti akan ramai dengan acara tradisi "Sembahyang Rebut atau Chit Giat Pan". Selain dikunjungi oleh warga Tionghoa yang memang ingin mengikuti ritual sembayang, juga datang warga lainnya yang memang sekedar ingin menyaksikan ritual yang dipenuhi dengan nuansa mistis ini. Ini adalah salah satu contoh nyata potret kerukunan umat beragama di Kepulauan Bangka yang masih terpelihara dengan baik. Sayangnya pada puncak acara di malam hari, kamera saya tidak cukup mumpuni untuk mengambil gambar dalam keadaan cahaya rendah. Maklum masih fotografer kelas amatiran hehhehee...


Perkebunan Lada
Dalam perjalanan menuju wisata religi Mahayana atau yang lebih dikenal dengan Kuil Fathin Shan, yang berada di Bukit Fathin, saya menyempatkan diri menjenguk perkebunan lada milik masyarakat. Gaes, kita patut berbangga sebab lada putih asal Kepulauan Bangka ini merupakan lada terbaik nomor 1 di dunia. Belum lagi hasil tambang Timahnya yang sejak ditemukan timah di awal abad    ke-18, Bangka menjadi pulau yang diperebutkan bangsa Eropa, seperti VOC dan Britania. Sayangnya cuaca hari itu cukup ekstrim berubah dari panas cetar menjadi hujan rintik-rintik yang membuat saya mengurungkan niat berkunjung ke salah satu lokasi bekas tambang timah yang berubah menjadi danau kaolin cantik berwarna hijau toska. Faktor keselamatan lebih utama dibandingkan foto bergaya. Narsis boleh, tapi safety is first priority 😉

Puas jeprat sana sini di perkebunan lada milik warga, saya bertolak menuju Bukit Fathin. Masih segar
Kuil Fathin San
dalam ingatan saya gimana perjuangan mendaki Bukit Fathin dari bawah dengan jalan kaki karena tahun 2012 yang lalu tangga dan jalan aspal menuju kuil Fathin San sedang dalam proses pembuatan. Berat brosis, hanya rasa penasaran yang tinggi hingga membuat saya berhasil sampai ke puncak dengan muka semerah udang rebus dan keringat mengucur deras bak sauna. Tapi semua itu terbayar lunas saudara-saudara....view diatas bukti Fathin fiiuuhhh kereen! apalagi berfoto di tangga kuilnya. aaihh cem di film-film Mandarin itulah. Buat kalian yang belum pernah kesini, tenaaangg sekarnag ini jalan menuju kuil sudah full aspal mulus selicin pipi iklan krim Korea. Jadi kalian bisa enjoy menikmati pemandangan menuju kuil sambil berkendaraan. Kalau kalian kesini sempatkan untuk mendaki Goa yang ada di atas Bukit Fathin ya. Setiap lapisan goa memiliki cerita tersendiri yang menarik untuk disimak. Jangan lupa siapkan kamera, tongsis, powerbank dan sederet alat narsis lainnya. Karena pemandangan dari atas bukti cantik banget sayang untuk dilewatkan.




Busana pengantin tradisional
Daaann akhirnya tibalah pada bagian yang berisi alias mengenyangkan, Kuliner! tahu gak sih kalian kalau cara paling jitu untuk mencicipi beragam kuliner daerah dalam satu hari adalah dengan datang ke pesta pernikahan lokal. Tanpa perlu repot kesana kemari, saya cukup geser body dari satu meja ke meja lainnya untuk mencicipi makanan lokal yang semuanya enak-enak. Hari itu saya pesta besar mencicipi Enjan sejenis pempek bulat yang dimakan bersama kuah tauco Bangka (ini enak gaes, saya nambah berkali-kali), lalu ada lempah kuning yaitu sejenis sop daging kuah kuning dengan daun kedondong bikin rasanya jadi unik. Belum lagi aneka penganannya seperti kue putu khas Bangka yang bentuknya mirip kue surabi atau dorayaki dan martabak manis terang bulan yang lembut membelai lidah. Aahh sekarang saya tahu mengapa kebanyakan martabak manis di Jakarta menamakan dirinya Martabak Bangka. karena sungguh guys....martabak manis terenak yang pernah saya rasakan ya disini tempatnya. Kamu mesti cobain sendiri deh. Terimakasih atas undangannya ya, Happy wedding Firda dan Anang semoga samawa selalu 💘😊.

Akhirnya kelar sudah petualangan ala-ala Dora selama 4 hari di Bangka. Hari ke 5 saya harus kembali ke Bogor membawa banyak oleh-oleh buah tangan, cerita dan kenangan. Masih banyak yang belum sempat saya rasakan dan sambangi. Suatu hari saya pasti akan kembali kesini.

This story is dedicated to my travel-mate Noery Hudaya and the happy couple Firda and Anang.
Sorry for late post guys, amateur writer needs some times to built her writing mood! 😂