|
Penyu hijau/ Chelonia Mydas |
Siapa yang gak kenal penyu hijau yang punya nama keren
Chelonia Mydas? anak-anak penyu/ Tukik kecil nan lucu itu sekarang ini banyak dijual untuk jadi binatang peliharaan. Padahal tahukah kalian bahwa dari 100 ekor anak penyu/ Tukik yang dilepas ke laut bebas, hanya 1 ekor saja yang berhasil bertahan hingga menjadi penyu hijau dewasa. Wooow berat yaa perjuangan hidupnya. Fakta ini yang membuat saya penasaran ingin banget ke Ujung Genteng untuk mengikuti prosesi melepas anak-anak penyu hijau/ Tukik ke laut bebas.
Bermodalkan hasil tanya-tanya sama mbah google, terkumpulah informasi mengenai rute, hotel, obyek-obyek wisata dan info-info lainnya. Berdasarkan informasi, rute yang tercepat ditempuh dari Bogor - Ciawi - Cicurug - Cibadak - Sukabumi - Jampang Tengah - Jampang Kulon - Surade - Ujung Genteng. Perkiraan waktu tempuh 7 jam. Rute ini menghemat waktu sampai 1,5 jam jika dibandingkan dengan rute melewati Pelabuhan Ratu. Namun apa yang terjadi sodarah-sodarah, ternyata perkiraan waktu meleset hingga mencapai 10 jam!! benar-benar memerlukan kesiapan fisik dan mental yang prima.
Berangkat dari Bogor jam 10 malam dengan maksud tiba di Ujung Genteng diwaktu sunrise. Waaahh udah kebayang aja nih indahnya pemandangan pantai Pangumbahan diwaktu sunrise. Tetapi ternyata perjalanan harus distop pukul 3 pagi sebelum memasuki daerah Sagaranten. Penduduk setempat meminta kami untuk tidak melanjutkan perjalanan karena akan melewati hutan yang sepi dan jarang rumah penduduknya. Selain itu penerangan jalanpun tidak ada sementara disalah satu sisi jalan terdapat jurang. Ya sudahlah daripada kenapa-kenapa dijalan lebih baik istirahat dulu, lagi pula pinggang udah pegel juga duduk kelamaan di mobil. Alhasil saya sempat bobo cantik selama 2 jam didalam kendaraan. Gak ada penginapan disekitar situ karena kita bener-bener berhenti di pintu masuk menuju hutan Sagaranten.
Jam 5 pagi perjalanan kami teruskan kembali. Duuhh bersyukur juga kami semalam memutuskan untuk berhenti dan istirahat. Hutannya asli gelap banget, rumah penduduknya jauh-jauh jaraknya dan disisi kiri jalan jurang yang cukup dalam. Kondisi jalannya pun luar biasa susah. Banyak kelokan tajam, menurun dan menanjak curam. Buat yang baru bisa nyetir mobil, jangan coba-coba bawa mobil sendiri ya. Bahaya!
Memasuki Surade pemandangan cantik mulai terlihat. Hamparan sawah menguning siap panen bergoyang-goyang lembut ditiup angin. Indah bangeett seperti gambar-gambar di kartu pos (eh ada gak yah?). Meskipun belum sempat mandi pagi itu, tapi pede ajah jeprat jepret disawah yang menguning.
Jam 09.00 pagi akhirnya kami tiba di pantai Pangumbahan. Finally...yeay!! ok, langkah pertama adalah istirahat dulu lempengin punggung yang sudah 10 jam merana. Sehabis sarapan pagi yang sudah sangat-sangat terlambat, kami sepakat tidur sambil menunggu waktu sore. Kebangun dari tidur jam 3 sore. Ya ampuuun pulesnyaaa hihihi abis gimana yaa cuacanya hujan deras mendukung banget buat pules.
Untuk menuju tempat penangkaran penyu hijau harus ditempuh dengan menggunakan kendaraan motor karena jalannya kecil, melewati hutan bakau dan melintasi pinggiran pantai. Bener-bener petualangan banget deh. Tempatnya sendiri berada dilokasi yang terpencil, jauh dari kebisingan. Mungkin supaya penyu-penyu dewasa bisa bertelur dan mengerami telurnya dengan damai sentosa kali ya. Sambil menunggu waktu pelepasan Tukik, kami melihat-lihat sarang penyu yang dibuat oleh pengelola konservasi. Dari satu lubang sarang penyu, biasanya terisi oleh 3 sampai dengan 5 butir telur dan 90% dari telur-telur tersebut berhasil menetas menjadi anak penyu. Setelah bertelur, penyu dewasa akan bermigrasi hingga ribuan kilometer untuk kembali bertelur di pantai yang sama. Hebat yaaa ternyata ilmu navigasi penyu lebih canggih dari GPS! Dari lokasi sarang penyu, kami beralih ke ruang tukik dimana anak-anak tukik yang berumur beberapa hari siap untuk dilepas ke laut bebas, menjadi petualang sejati. Saya sempat memegang anak penyu hijau/ Tukik. Kulit/ batok punggung mereka masih lembuuutt banget.
Tepat pukul 17.30 semua pengunjung yang sudah menanti-nanti ritual istimewa ini bergegas menuju tepi pantai. Petugas konservasi memanggul seember penuh anak-anak Tukik untuk dilepas ke laut bebas. Seperti anak kecil yang mengikuti penjual mainan, kami semua mengikuti bapak itu dengan patuh. Sampai dipingggir pantai, masing-masing mengambil beberapa Tukik untuk dilepas ke laut. Sungguh ini detik-detik paling mengharukan. Rasanya seperti melepas seorang anak kecil bepergian jauuuuuhh sekali :( ada sedih dan gembiranya. Gembira karena mereka kembali ke habitatnya, sekaligus sedih karena dari 100 ekor tukik yang dilepas hanya 1 yang akan survive hingga dewasa 99 lainnya tereliminasi oleh alam. Ada 1 ekor tukik yang kelelahan mencapai bibir pantai dan tidak bisa dilepas ke laut. Terpaksa dia harus kembali ke ruang tukik untuk dipulihkan lagi tenaganya. Sore itu sunset di Pantai Pangumbahan luar biasa cantiknya. Aaaah betaaah deh duduk berlama-lama di pantai ini.
Perjalanan pulang dari tempat penangkaran penyu memacu adrenalin lebih deras dibandingkan perginya. Kondisi jalan yang gelap, licin, berlumpur dan gerimis membuat kombinasi sempurna antara ngeri dan lelah. Kondisi air laut yang sudah mulai pasang membuat kami tidak bisa melintasi tepi pantai dan harus melewati jembatan yang terdiri dari batang pohon yang dipasang melintang. Terpeleset sedikit, motor bisa kecebur ke laut. Sebelum kembali ke penginapan kami sempatkan makan malam di salah satu restaurant seafood di tepi pantai.
Hari kedua ternyata cuaca tidak mendukung sama sekali. Sejak subuh hujan turun dengan derasnya. Hikkss...rencana ke Curug Cigangsana, Curug Cikaso dan Tanah Lot terpaksa kami batalkan. Pelajaran moral super penting, jangan bepergian ke pantai diwaktu hujan. oh ralat deh, ke alam terbuka. Tidak hanya pantai saja. Akhirnya kami sepakat untuk pulang agar tidak terlalu kemalaman tiba di Bogor.
Perjalanan pulang mengambil rute lewat Pelabuhan Ratu. Alhamdulillaaaahh..., sampai di Pelabuhan Ratu cuacanya sudah tidak hujan deras, meskipun gak terlalu bersinar banget mataharinya. Di Pelabuhan Ratu ini terkenal dengan lokasi wisata Karang Hawu. Konon karang tersebut merupakan bekas tempat memasak Nyi Ratu Roro Kidul, penguasa pantai Selatan. Hawu artinya Tungku (untuk memasak). Tidak jauh dari Karang Hawu ada Sumur 7. Menurut penduduk setempat, Sumur 7 merupakan bekas tempat pemandian Nyi Ratu Roro Kidul. Ada sebuah batu yang dinamakan batu duduk, merupakan batu tempat sang Ratu duduk disaat mandi. Sssttt...info dari salah seorang tukang foto setempat, artis Jupe sempat mandi juga lho disini (gak penting banget ya? hihihihi). Masyarakat setempat percaya bahwa Nyi Ratu Roro Kidul sampai saat ini masih hidup namun menghilang. Puas main-main dipantai, kami sempatkan makan siang sebelum kembali ke Bogor.
Perjalanan pulang menuju Bogor melewati jalan pintas Cikidang. Wooohh jalanannya cocok banget buat track rally. Berkelok-kelok, menikung tajam, menurun dan menanjak curam. Tapi pemandangannya luuaarr biasa indaaahh banget. Dibandingkan lewat jalan Raya Sukabumi yang super macet, saya lebih memilih jalur Cikidang.
Dari Cikidang kami masuk lagi ke arah Cihideung untuk menghindari jalan Raya Sukabumi. Naaahh..., sambil menyelam minum air. Sambil melewati Cihideung, mampir dulu ke Warso Farm. Tau dong buah durian? disini rajanya kebun durian milik Bapak Warso. Perkebunan Warso selain menyediakan buah durian utuh, juga menyediakan durian dalam bentuk es krim. Jangan ditanya rasanya, teman saya aja sampai habis 2 gelas, plus sisa es krim saya ikut dihabiskan juga! Oya, selain buah durian, pak Warso mulai mengembangkan buah Naga juga sekarang ini. Waah laris manis tanjung kimpul ya pak Warso.
Sebenarnya saya masih kurang puas siihh perjalanan kali ini. Karena dari sekian banyak tempat wisata yang saya inginkan hanya 2 saja yang terlaksana. Untuk balik lagi kesana jujur, mikir panjang banget secara jarak tempuhnya benar-benar menguras fisik dan mental. Paling tidak perlu waktu libur 4 hari untuk bisa menikmati perjalanan dan wisata. Gak apa-apa, namanya juga pengalaman. Next time bisa lebih baik lagi. Yang pasti berkat perjalanan ke Ujung Genteng saya jadi punya pengetahuan tentang kura-kura hijau (Chelonia Mydas) dan yang pastinya, saya gak akan pernah mau membeli kura-kura hijau untuk dipelihara. Mereka perlu dilepaskan ke alam bebas untuk dapat mencapai dewasa dan berkembang biak supaya tidak punah.