Memiliki waktu
hanya 6 jam di kota Makassar yang dikenal sebagai kota “Anging Mamiri” bukan
berarti cuma bisa berdiam diri di hotel tempat menginap. Dalam 6 jam saja
ternyata banyak tempat yang bisa disambangi. Gak percaya? Cek tulisan berikut
ini.
Fort Rotterdam di pagi hari, cantik! |
Jam 8 pagi
jalan-jalan dimulai. Tujuan pertama adalah benteng Rotterdam. Benteng yang
awalnya bernama benteng Ujung Pandang ini berdiri sejak tahun 1545 oleh Raja
Gowa ke-10 terletak dijalan Ujung Pandang no 2. Sebetulnya tidak ada tiket
masuk ke benteng ini, tetapi pengunjung diminta untuk memberi sumbangan
serelanya. Benteng dengan dinding bercat kuning langsat terlihat kontras
berpadu dengan beberapa daun jendela dan pintu yang berwarna merah. Di benteng
ini terdapat ruang tahanan Pangeran Diponegoro. Fort Rotterdam memiliki museum
dengan nama yang unik “La Galigo” yang diambil dari nama karya sastra klasik
dunia yang besar dan terkenal. Pertimbangan lainnya, nama La Galigo sangat
terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. La Galigo adalah seorang
tokoh legendaris putra Sawerigading Opunna Ware dari pernikahannya dengan We
Cudai Daeng Ri Sompa. Setelah dewasa La Galigo dinobatkan menjadi Payung Lolo
(Raja Muda) di kerajaan Luwu yang merupakan kerajaan tertua di Sulawesi
Selatan. Saya terkesan melihat Museum La Galigo cukup terawat, terlihat
betapa masyarakat Makassar begitu mengapresiasi sejarah mereka ditempatnya
sendiri. Isi museum seperti pada umumnya memuat koleksi benda-benda bersejarah
yang tersimpan apik didalam lemari kaca. Ada juga baju tradisional dan kain
songket Makassar yang terkenal kehalusannya. Pagi
hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi benteng Rotterdam yang saat
terekam kamera tampak begitu dramatis antara bentuk bangunan kolonial berpadu
dengan birunya langit. Cantik, bak lukisan!
Pinisi, kapal nenek moyang |
Konon asal usul
nenek moyang kita yang seorang pelaut berasal dari Makassar. Pelaut Makassar
terkenal kehebatannya mengarungi luasnya samudera dengan Kapal kayu tradisional
yang disebut Kapal Pinisi. Maka pelabuhan Paotere menjadi tempat kedua yang
dikunjungi. Pagi hari hiruk pikuk di pelabuhan Paotere sudah terlihat. Beberapa
kapal Pinisi sedang melakukan bongkar muat dan perbaikan. Beberapa kapal
lainnya tampak sedang istirahat bersandar saja di pelabuhan. Sementara itu di
sisi lain dari pelabuhan Paotere tampak sekumpulan anak-anak kecil sedang berenang riang
gembira bersama di laut. Tidaklah heran kalau label pelaut ulung dilekatkan
pada orang Makassar. Laut menjadi taman mereka bermain semenjak kecil
rupanya. Puas mengamati aneka kapal
Pinisi yang sedang berlabuh, kaki kembali melangkah menuju tempat berikutnya.
Mesjid Raya Makassar, bak istana. |
Mesjid Raya Makassar
yang didominasi warna putih terlihat seperti istana yang berdiri anggun dibawah
langit biru berawan putih. Sejenak saya terpana…., dimata saya mesjid ini
tampak bak istana yang ada di dongeng-dongeng negeri timur tengah. Satu persatu
saya menapaki tangga mesjid yang megah ini. Pada salah satu dinding terdapat
daftar nama panitia pemugaran Mesjid Raya Makassar yang dilakukan pada tanggal
16 Juni 1976. Nama H. Kalla dan H. Drs. Yusuf Kalla ada didalam daftar. Mesjid
ini sendiri kemudian diresmikan oleh H. Yusuf Kalla dibulan Mei 2005 saat
beliau menjadi Wakil Presiden RI. Mengintip ke bagian dalam mesjid, saya
mendapati sebuah Al-Quran besar dengan ukuran 1m x1,5m dan berat 544kg.
Al-quran ini dikerjakan selama 12 bulan lamanya dan ditempatkan dalam kotak kayu jati yang sudah dikeringkan selama 1 bulan agar tahan hingga ratusan
tahun. Subhanallah…
Mesjid Apung Amirul Mikminin |
Mayoritas penduduk
di Makassar adalah muslim, tetapi jangan heran jika disini tempat-tempat ibadah
agama lainnya dengan mudah bisa ditemui. Agaknya kerukunan hidup beragama sudah
tertanam dengan baik disini. Saat saya mengambil gambar-gambar tempat ibadah
seperti gereja dan klenteng pun mereka tidak melarang, malah mempersilahkan.
Tentu saja saya paham aturan mengambil gambar ditempat ibadah, tidak
boleh memotret dari depan saat umat sedang menjalankan ibadah dan tidak
mengganggu umat yang sedang beribadah.
Klenteng Xian Ma |
Klenteng pertama
yang disambangi adalah Yayasan Marga Thoeng, sejak tahun 1898. Sayangnya hari
itu klenteng sedang tidak dibuka, jadi saya hanya bisa mengambil gambar pintu
klenteng yang berwarna merah dengan hiasan beberapa lampion diatasnya. Beberapa meter dari
Yayasan Marga Thoeng, ada Klenteng Kwan Kong. Kali ini cukup beruntung.
Klenteng sedang dibuka dan beberapa umat tampak sedang sembahyang didalamnya.
Klenteng ini tampak kental nuansa orientalnya dengan ornamen patung singa yang
sedang duduk sambil menggenggam bola dikaki kanannya. Di bagian dalam klenteng terdapat lonceng besar berwarna emas dengan tulisan china berwarna merah pada
badan lonceng. Sementara pada altar untuk sembahyang yang berwarna merah,
tampak beberapa lilin dan sesaji seperti minuman dan buah-buahan diatasnya.
Keseruan belum
berakhir, hanya berjarak beberapa belas meter saja tiba di Istana Naga Sakti
Klenteng Xian Ma. Uniknya klenteng Xian Ma diresmikan oleh H. Syahrul Yasin Limpo yang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan pada
tahun 2009. Nah, sekali lagi bukti kerukunan antar umat beraga terlihat disini. Berseberangan
dengan Klenteng Xian Ma, tampak Vihara Ibu Agung Bahari. Bagian depan vihara
tampak dihiasi dengan lampion berwarna merah dengan beberapa pilar berukir
menopang canopy teras vihara.
Gereja Katedral |
Tempat terakhir
yang dikunjungi adalah gereja Katedral. Sengaja saya memilih gereja sebagai
tempat terakhir untuk dikunjungi agar tidak mengganggu umat kristiani yang
sedang melakukan ibadah minggu. Pagi itu gereja Katedral tampaknya sedang
mempersiapkan pohon natal yang besar. Di depan gereja terlihat rangka besi yang menyerupai
pohon cemara. Bangunan gereja Katedral ini cukup mungil ukurannya. Dindingnya
berwarna coklat muda beraksen atap dengan warna coklat yang lebih tua, terlihat
klasik dan tidak berlebihan. Sederhana namun tidak mengurangi keanggunannya.
Waah ternyata
jappa-jappa atau jalan-jalan dalam Bahasa Makassar selama 6 jam cukup banyak
juga tempat yang bisa disambangi ya. Meskipun matahari terik tetapi angin
sepoi-sepoi membelai seakan meredakan teriknya sengatan matahari. Tidak salah
kalau kota Makassar dijuluki sebagai kota “Anging Mamiri”. Sampai bertemu lagi
kota Makassar, semoga tahun depan saya bisa kembali lagi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar