Sudah lama saya mendengar keunikan wisata di Tana Toraja. Ya
bagaimana tidak unik, jika daerah lain mengandalkan alam, kuliner atau belanja
sebagai pariwisatanya, Tana Toraja menawarkan wisata kuburan sebagai daya Tarik
wisatanya. Terlebih dengan upacara pemakaman mayat yang dikenal dengan sebutan
“Rambu Solok”. Upacara yang menelan biaya hingga miliaran juta ini selalu
menyedot perhatian wisatawan local maupun asing sehingga berduyun-duyun datang
ke Tana Toraja untuk melihatnya.
Si hitam yang harganya aduhai |
Dalam upacara rambu solok, keluarga yang berduka biasanya
memberikan persembahan berupa babi dan kerbau. Kerbau atau Tedong dalam
masyarakat Tana Toraja merupakan simbol status sosial. Rumah adat suku Toraja
yang disebut Tongkonan dihiasi dengan tanduk tedong. Semakin banyak tedong yang
dikurbankan, menandakan semakin tinggi status sosial pemiliknya. Pemilik rumah
memajang tanduk tedong dibagian depan tongkonan berderet dari atas hingga ke
bawah. Ada tiga jenis tedong yang biasa digunakan dalam upacara. Kerbau putih
atau tedong putih, kerbau hitam atau biasa disebut tedong saja dan kerbau
belang atau disebut Tedong Bonga. Diantara ketiga jenis kerbau atau tedong
tersebut Tedong Bonga menempati urutan puncak strata kerbau. Hasil iseng
bertanya ke penduduk lokal harga seekor Tedong hitam biasa berkisar Rp160 juta,
dan seekor tedong bonga konon harganya sama dengan sebuah mobil ferari, wooww....
fantastis!
Berangkat dari cerita keunikan upacara pemakaman Rambu
Solok, kuburan tebing, kuburan gua, tedong dan tongkonan saya menyusun rencana
pergi ke Tana Toraja. Hasrat hati seakan sulit dibendung, setiap kali melihat
gambar Tongkonan di internet, hati saya berdesir-desir seperti orang yang
sedang kasmaran, menunggu waktu untuk bertemu. Halahh!
Penampakan sleeper bus. Dilengkapi selimut dan guling |
Saya sengaja mengambil penerbangan sore hari agar tiba di
Makassar malam hari. Setiba di Makassar langsung bersiap menunggu bus Bintang
Prima dengan rute Makassar - Toraja. Perjalanan menuju Tana Toraja hanya dapat
ditempuh dengan menggunakan jalan darat saja. Bus menuju Toraja hanya tersedia 2
jam keberangkatan, pagi pukul 09.00 dan malam hari pukul 21.00 dengan lama
waktu perjalanan sekitar 9 sampai 10 jam. Tidak usah khawatir, perjalanan yang panjang akan terasa nyaman dengan sleeper bus yang setiap kursinya dilengkapi dengan sistem reclying seat yang bisa direbahkan hingga hampir 180 derajat dan fasilitas guling dan selimut karena AC busnya super dingin. Busnya pun bagus-bagus dengan pengemudi profesional yang sudah paham medan perjalanan menuju Tana Toraja. Bagi pejalan yang tidak memiliki
waktu banyak, sebaiknya mengambil jam keberangkatan malam agar tiba di Rantepao
pagi hari. Setiba di Rantepao, bisa mencari penyewaan motor yang terletak
didekat lapangan Rantepao. Gunakan rute yang efektif agar perjalanan maksimal dan
tidak ada yang terlewatkan.
Londa, makam didalam tebing batu |
Rute yang saya gunakan adalah mengunjungi obyek wisata
kuburan di Lemo terlebih dahulu. Ciri khas makam di Lemo adalah meletakan peti
mati didalam tebing yang dipahat membentuk ceruk. Terbayang tingkat
kesulitannya memahat tebing batu yang keras dan mengusung peti mati kedalam
tebing. Luar biasa sekali upaya yang dilakukan. Dibagian depan tebing tampak
beberapa Tau-tau atau boneka yang menyerupai orang yang sudah meninggal. Konon
profesi sebagai pembuat Tau-tau sudah semakin langka di Toraja. Hingga saat ini
hanya ada 2 orang saja yang terkenal keahliannya membuat Tau-tau. Oya, ternyata
tidak semua yang meninggal bisa dibuatkan Tau-tau. Hanya kalangan tertentu saja
yang diperbolehkan dibuatkan Tau-tau. Dari tebing makam, berjalanlah kearah jalan
setapak. Ikuti terus jalan tersebut, anda akan menemukan toko souvenir khas
Toraja yang letaknya cukup tersembunyi.
Boneka Tau-tau didepan pemakaman Londa |
Rute berikutnya mengunjungi obyek wisata kuburan di Londa yang terletak 7km di arah selatan kota Rantepao. Ciri khas pemakaman di Londa adalah meletakan peti mati
didalam gua. Pemakaman di dalam gua Londa ini dikhususkan bagi orang Toraja yang bermarga Tolengke, dan boneka Tau-tau yang terletak diatas gua Londa menandakan bahwa almarhum merupakan seorang bangsawan. Didalam gua beberapa peti mati bahkan sudah hancur dan menampakan
tulang belulang serta tengkorak kepala manusia. Londa merupakan tempat
pemakaman untuk leluhur suku Tolengke. Jika anda cukup berani, tidak ada salahnya
mengikuti pemandu gua masuk kedalam hingga ke ujung yang tersempit. Pengalaman
yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Pemandu akan menyorotkan sinar senter
untuk membantu kita melihat bagian dalam gua. Uniknya, saya tidak mencium bau
busuk mayat dan tidak terdapat tikus seekor pun padahal peti mati dan tulang
belulang berserakan dimana-mana. Keluarga peziarah biasanya membawakan minuman
untuk yang sudah meninggal. Minuman kemasan dalam botol tersebut ditinggalkan
didalam gua. Tadinya saya pikir itu sampah yang ditinggalkan oleh keluarga
peziarah ternyata itu merupakan sesaji bagi yang sudah meninggal. Pengetahuan
baru saya dapatkan dari tradisi unik suku Toraja.
Spot favorit para pejalan, berlatar Tongkonan! |
Selepas berziarah di Londa, arahkan kendaraan menuju Kete’
Kesu, obyek wisata paling popular di Tana Toraja. Letaknya di kampung Bonoran Sanggalangi, sekitar 4km dari Rantepao. Disinilah pusat makam Toraja dan rumah adat/Tongkonan yang terbesar lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi). Kalau anda
pernah membeli kartu pos Toraja dengan gambar Tongkonan, maka gambar tersebut
diambil dari deretan Tongkonan yang ada di Kete’ Kesu. Beberapa tongkonan memiliki deretan tanduk tedong dari atas hingga bawah. Terbayang ya, kalau satu tedong seharga 160juta berapa nilai Tongkonan dengan deretan tanduk tedong tersebut? Saya beruntung, siang
itu Kete’ Kesu belum dipadati pengunjung, jadi saya bisa mengambil beberapa
gambar Kete’ Kesu tanpa ada orang lain disana. Puas mengambil gambar Tongkonan,
langkahkan kaki ke arah makam. Ciri khas makam di Kete’ Kesu adalah di dalam
gua. Disalah satu sudut gua, terdapat 2
tengkorak kepala manusia. Pemandu wisata bercerita bahwa kedua tengkorak
tersebut adalah sepasang kekasih yang mati bunuh diri karena cintanya tidak
mendapat restu dari keluarga. Tidak ada aura mistis yang mengerikan didalam
gua. Yang terasa hanya udara gua yang terasa lembab. Pemandu gua mempersilahkan
pengunjung untuk mengambil foto-foto tengkorak yang ada didalam gua dengan
syarat tidak memindahkan tulang ataupun tengkorak. Saya sendiri sempat berfoto
dibelakang tumpukan tengkorak kepala, tapi sayangnya gambarnya agak goyang.
Sepertinya teman saya yang memotret agak nervous dengan tumpukan tengkorak yang
ada didepan muka saya hahahhaa agaknya diperlukan ketegaran hati untuk mengambil gambar disini.
Konon pernah ada turis asing yang iseng mencuri sebuah
tengkorak dan membawa pulang ke negaranya. Ternyata roh/spirit tengkorak mengikutinya
hingga ke negara asal dan terus menerus menghantui. Tengkorak kemudian dikirim
ke Indonesia, tetapi roh tetap tidak berhenti menghantui. Si turis kemudian
datang kembali ke Indonesia untuk mengadakan upacara dengan menyembelih seekor
kerbau dan babi, barulah roh/spirit berhenti menghantui. Saat ini tengkorak
yang dicuri disimpan kembali didalam museum.
Miniatur Tau-tau |
Di sekitar Kete’ Kesu banyak terdapat penjual cinderamata,
baik itu ukiran kayu, batik maupun patung kakek dan nenek Toraja. Uniknya di
Toraja ini semua patung berwajah orangtua. Saat saya tanyakan apakah ada alasan
tertentu mengapa patung hanya berwajah orangtua, penduduk disana tidak dapat
menjelaskan alasannya. Mungkin itu sudah menjadi semacam tradisi bagi mereka. Bila orang dewasa yang telah meninggal dimakamkan didalam
tebing atau gua, maka anak kecil yang belum tumbuh giginya dimakamkan didalam
pohon. Para tetua mempercayai bahwa getah pohon menjadi susu bagi bayi. Sayangnya karena keterbatasan waktu saya tidak sempat berkunjung ke
daerah yang memiliki pohon tempat menyimpan jasad anak kecil yang belum tumbuh
giginya. Sekarang ini bayi yang meninggal tidak lagi dikuburkan didalam pohon tetapi dibuatkan rumah kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar