My Favorite Travel Quotes

"The world is a book and those who do not travel read only one page - St. Augustine", "I have found out that there ain't no surer way to find out whether you like people or hate them than to travel with them - Mark Twain", "If the traveler can not find master or friend to go with him, let him travel alone rather than with a fool for company - Budha", "Traveling is about the journey not the destination - Anonymous", "Traveling brings love and power back to your life - Rumi".

Kamis, 25 Desember 2014

Asyiknya Keliling Kota Surabaya dengan Surabaya Heritage Track

Surabaya Heritage Track
Sudah lama saya ingin mengunjungi museum rokok Sampoerna atau yang lebih tenar disebut House of Sampoerna. Terlebih dengan adanya wisata keliling kota Surabaya dengan menggunakan bus Surabaya Heritage Track. Bis dengan warna merah menyala dilengkapi dengan guide yang profesional siap mengantar pengunjung keliling kota secara gratis!

Seperti biasa, sebelum mengunjungi suatu tempat, saya selalu menyiapkan diri dengan bekal sebanyak-banyaknya. Dari hasil browsing di internet, ternyata tiket untuk naik bus Surabaya Heritage Track dapat dipesan melalui email. Tanpa membuang kesempatan, saya segera mengirimkan email permohonan reservasi untuk 9 orang. Staf marketing House of Sampoerna dengan ramah melayani pemesanan saya meskipun waktunya masih 3 bulan kedepan! hahaha keliatan sekali ya kalau saya udah ngincer banget pengen naik bus ini. Informasi dari mbak staf marketing yang ramah itu, pemesanan melalui email hanya berlaku untuk 10 orang saja. Diluar itu, calon penumpang harus datang dan daftar on the spot. Beruntungnya saya, karena waktu kami datang ke House of Sampoerna banyak pengunjung yang terpaksa gigit jari karena kehabisan tiket bus Surabaya Heritage Track. Pfiuuh untung saja saya sudah buat reservasi jauh-jauh hari sebelumnya.

Bus Surabaya Heritage Track yang berkapasitas duduk 22 orang tersebut siap mengantar para tracker sebutan untuk penumpang bus dengan rute yang telah disediakan. Dalam 1 hari SHT melakukan 3 kali keberangkatan dan menempuh 1,5 hingga 2 jam per rute. Sedangkan dalam 1 minggu terdapat 2 rute, yaitu Rute A short trip pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis, dan Rute B long trip pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Sedangkan pada hari senin SHT tidak ada rute alias libur. Ada 3 kali jadwal keberangakatan bus yaitu jam 10.00 s/d 11.30, 13.00 s/d 14.30 dan yang terakhir 15.00 s/d 16.30. Saya mengambil jadwal jam 13.00, saat matahari di langit Surabaya sedang galak-galaknya.

Bus mengambil rute kota lama, melintasi jalan-jalan protokol dimana gedung-gedung tua yang apik dan masih berfungsi sebagai perkantoran. Saya sempat mengabadikan beberapa gambar gedung dari dalam bus dan cukup terpana dengan hasilnya. Gambar gedung tua dengan langit biru bersih diatasnya, cantik sekali! Bus berhenti di Tugu Pahlawan Surabaya. Penumpang dipersilahkan turun dan mendengarkan narasi dari tour guide yang dengan fasih menceritakan asal usul nama Surabaya, sejarah kota Surabaya dan masih banyak lagi. Guide juga mempersilahkan para penumpang berfoto dengan latar patung proklamator Indonesia, Soekarno dan Hatta. Sekitar 10 menit kemudian, bus melanjutkan perjalanan kembali.
PTPN XI
Setelah melewati beberapa gedung tua, bus kembali berhenti. Kali ini disebuah gedung PTPN termegah sepulau Jawa. Di tangan Belanda, perusahaan ini awalnya bernama Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), yang arti harfiahnya Asosiasi Pedagang Amsterdam. Sesuai namanya gedung ini memang ditempati oleh HVA, sebuah perusahaan asal Belanda yang didirkan sejak tahun 1879 di Amsterdam dan bergerak di bidang impor hasil pertanian dan budidaya tebu, kopi dan singkong. Perusahaan tersebut juga memiliki puluhan perusahaan di Hindia Belanda dan gedung di Surabaya ini berfungsi sebagai pusat kontrol untuk produksi gula di wilayah Jawa Timur. Gedung HVA terletak di jalan Merak no 1. Surabaya dan dibangun pada tahun 1920-1925 diatas lahan seluas 1.6 hektar oleh arsitek terkenal di Batavia, Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers.

Konon gedung ini memiliki bagian-bagian ornamen yang yang diimpor dari Belanda dan Italia. Uniknya gedung ini didesain fleksibel terhadap gempa. Gedung dibagi menjadi dua pondasi dan tulang dimana keduanya tidak melekat satu sama lain. Hebat deh, pemikiran arsiteknya sudah jauh kedepan pada masanya. Secara keseluruhan gedung terlihat kokoh dan anggun, tentu saja kesan angker tidak bisa dihilangkan dari gedung-gedung tua yang pada umumnya menyimpan kisah-kisah misteri hantu Belanda.

Sekitar 1,5 jam perjalanan berkeliling kota, akhirnya bus kembali memasuki halaman House of Sampoerna. Selanjutnya mengeksplore isi museum Sampoerna sembari mendinginkan kulit yang memerah terpanggang matahari. 

Museum Sampoerna
Saat membuka pintu museum, nyeesss udara sejuk menyapa kulit dibarengi dengan harum tembakau yang anehnya tidak membuat kepala pusing. Padahal biasanya kalau ada yang merokok dekat-dekat saya, sebelum rokok dinyalakan kepala sudah berdenyut-denyut duluan karena pusing mencium aroma rokok. Entah kenapa harum tembakau di dalam ruangan museum ini justru membuat kesegaran tersendiri. Ditambah penataan interior museum yang apik dan lighting yang pas membuat keseluruhan museum terlihat ciamik. Lantai pertama dipenuhi oleh foto-foto keluarga Sampoerna. Ada juga gerobak warung yang ditata sedemikian rupa sehingga mirip gerobak warung sungguhan. Isi museum dilantai 1 ini bisa menjadi edukasi untuk pengunjung, tidak hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa.

Ruang melinting rokok
Beralih ke lantai 2, disni terdapat aneka merchandise dari House of Sampoerna. Aneka magnetic fridge, polo shirt, gantungan kunci, pin, aneka batik tulis dan masih banyak lagi ragam merchandise yang dijual dengan kualitas prima. Dari lantai 2 ini pengunjung juga bisa melihat ruang melinting rokok yang hingga saat ini masih difungsikan. Ya, meskipun Sampoerna sudah membuat pabrik yang modern dilokasi yang lain, tetapi untuk menghargai sejarah berdirinya perusahaan Sampoerna, ruangan melinting rokok tetap dipertahankan di gedung ini.

Rasanya tidak ada yang bisa saya ungkapkan selain rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada founder perusahaan Sampoerna yang telah berjasa memberikan edukasi melalui museumnya secara gratis dan menyediakan fasilitas bus Surabaya Heritage Track keliling kota lengkap dengan naratif tour guidenya secara gratis juga. Tidak banyak pengusaha yang punya perhatian terhadap perkembangan sejarah dan pendidikan bangsa. Bangga rasanya keluarga Sampoerna memiliki keperdulian yang tinggi terhadap Indonesia, meskipun saat ini perusahaan Sampoerna bukan lagi menjadi perusahaan nasional semenjak diakuisisi oleh perusahaan Philip Morris. Hiikss, semoga dimasa mendatang, pengusaha Indonesia lainnya atau keluarga Sampoerna bisa membeli kembali perusahaan yang pernah menjadi salah satu perusahaan nasional terbesar di Indonesia. 

Legenda Ikan Massapi di Tilanga, Tana Toraja

Kolam Tilanga
Tempat ini terletak diantara Makale dan Rantepao. Tilanga yang berada di kecamatan Makale Utara adalah tempat pemandian dengan air alam yang terasa dingin namun memberikan kesejukan luar biasa. Air kolam Tilangan yang berwarna kehijauan memiliki kejernihan yang luar biasa. Pada beberapa bagian kolam yang tidak terlalu dalam, kita bahkan bisa melihat hingga ke dasar kolam. Pengunjung dikenakan tiket masuk sehargar Rp10,000,- untuk menikmati keindahan kolam Tilanga.

Disini pengunjung dipersilahkan untuk menceburkan diri kedalam kolam dan mandi. Tetapi harap perhatikan peraturan ditempat ini yang tidak memperbolehkan pengunjung mandi menggunakan shampoo, sabun atau segala sesuatu yang brsifat detergen. Hal ini untuk menjaga kelestarian ekosistem yang ada didalam kolam Tilanga.

Bagian kolam yang terdalam
Keunikan dari kolam ini adalah adanya beberapa belut berkuping (moa) yang memiliki nama latin Anguilla Sp, sementara oarng Toraja menyebutnya Massapi. Massapi kerap keluar dari celah-celah bebatuan yang ada disekitar kolam. Anehnya tidak ada satupun yang tahu secara tepat dibagian bebatuan mana Massapi bersarang. Tidak sembarang orang dapat memanggil Massapi hingga keluar dari sarangnya. Konon ada anak kecil yang mampu memangil Massapi hanya dengan menjentik-jentikan jarinya kedalam air dengan berbekal telur bebek rebus. Saat saya berkunjung, beberapa cangkang telur terlihat dipinggir kolam.

Konon Massapi membawa keberuntungan bagi siapapun yang bisa melihatnya di kolam Tilanga, apalagi jika dapat melihat Massapi Bonga yang memiliki warna kulit belang hitam dan putih. Seperti halnya Tedong Bonga sebutan untuk kerbau dengan warna belang hitam putih yang harganya selangit karena kelangkaannya, Massapi Bonga memiliki keberuntungan yang lebih dibandingkan Massapi biasa bagi yang dapat melihatnya. Wallahualam.

Masih menurut kepercayaan yang beredar di masyarakat sektiar, Massapi pantang untuk dipancing. Kabarnya pernah ada orang yang nekat memancing Massapi. Beberapa hari kemudian tersiar berita bahwa si pemancing meninggal dunia tanpa diketahu sebabnya. Masyarakat juga percaya bahwa didalam kolam hidup raja Massapi yang kerap muncul tengah malam untuk membersihkan kolam dari dedaunan yang berguguran dari pohon-pohon disekeliling kolam sehingga pada pagi hari kolam terlihat bersih kembali.

Kesejukan yang sulit ditolak
Diluar berbagai legenda yang menyebar di masyarakat tentang Massapi, pemandian Tilangan memiliki kesejukan air yang sulit untuk ditolak. Dengan rimbunnya pepohonan disekitar kolam dan suara daun bambu yang bergesekan ditiup angin membuat kita betah berlama-lama duduk dipinggir kolam. Coba celupkan kaki anda saat berada ditepi kolam, rasakan sensasi kesejukannya yang menjalar perlahan dari ujung kaki ke tubuh bagian atas. Bagi pengunjung yang ingin mandi disini harap  berhati-hati karena ada bagian kolam yang sangat dalam dan sulit untuk disentuh dasar kolamnya. Bagi anda yang berjiwa pemberani, beberapa dahan pohon yang melintang didekat kolam derap kali dijadikan papan untuk berayun dan meloncat kedalam kolam. Anda berani mencobanya?

Kamis, 18 Desember 2014

Island Hopping. Sekali dayung tiga pulau terlampaui (Lae-lae, Samalona, Kodingareng Keke)

Cuaca cerah, waktunya ke pulau!
Setiap kali menuliskan kata kunci “Makassar” di mesin pencari, berkali-kali nama pulau Samalona muncul. Pulau yang digambarkan sebagai kepingan surga yang jatuh di tanah Sulawesi Selatan membuat rasa penasaran berkecamuk didalam pikiran.

Kesempatan mendaratkan kaki di Sulawesi Selatan untuk berlibur akhirnya terwujud. Akhir November lalu saya solo traveling ke Makassar. Tujuan utamanya pulau Samalona yang sudah lama diimpi-impikan. Cara menuju Pulau Samalona sangat mudah sekali. Tepat diseberang benteng/Fort Rotterdam anda akan menemukan dermaga kecil tempat perahu sewaan menuju pulau-pulau. Sebelum  menyeberang saya sempatkan menikmati semangkuk Pallu Basa, kuliner khas Makassar yang terdiri dari potongan daging sapi dengan kuah berbumbu pekat bercampur serundeng kelapa. Jangan lupa membeli bekal untuk makan siang di pulau dan buroncong, kue khas Makassar untuk camilan.

pulau Lae-lae, ramai pengunjung
Hari itu cuaca sedang berpihak pada saya, cuaca cerah ceria. Pulau pertama yang akan menjadi persinggahan kami adalah Pulau Lae-lae yang jaraknya hanya sekitar 15 menit saja dari Makassar. Bahkan dari ujung dermaga kita bisa melihat pulau Lae-lae. Disini kami hanya singgah untuk menjemput jaket pelampung. Meskipun merasa bisa berenang, tidak ada salahnya untuk tetap memperhatikan keselamatan dengan membawa jaket pelampung, untuk antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Perjalanan kami lanjutkan menuju pulau Samalona. Pulau yang sudah lama sekali saya dengar keindahan bawah lautnya, gradasi biru jernih air laut yang berpadu dengan pasir putih terlihat begitu menawan. Tidak salah memang jika pulau ini begitu terkenal dikalangan para pejalan. Anda yang tidak membawa pakaian renang atau wet suit untuk diving/snorkling tidak usah bingung, di pulau ini menyediakan sewa wet suit, celana renang hingga alat snorkling dengan harga yang tidak mahal. Alih-alih menggunakan baju yang sudah disiapkan dari hotel, saya malah menyewa wet suit supaya tidak usah membawa pulang pakaian basah. Spot snorkling di pulau Samalona cukup bagus, dengan kejernihan airnya  aneka biota laut seperti terumbu karang dan ikan-ikan hias berwarna warni dapat diobservasi dengan mudah tanpa harus menyelam terlalu dalam. Kami berpindah-pindah ke beberapa titik snorkling untuk mengeksplorasi keindahan bawah laut Samalona.

Pulau Kodingareng Keke
Puas menikmati pemandangan bawah laut Samalona, kami berpindah ke pulau Kodingareng Keke yang berjarak sekitar 25 menit dari Samalona. Kawan, harus saya akui, diantara ketiga pulau; Lae-lae, Samalona dan Kodingareng Keke hati saya tertambat di pulau yang terakhir . Pulau tak berpenghuni ini hanya terdiri dari dataran yang terbentuk dari gundukan pasir putih dengan beberapa batang pohon yang berhasil bertahan hidup dari teriknya matahari ditengah laut. Disini sejauh mata memandang hanya jernihnya laut biru bersanding dengan putihnya pasir membentuk harmoni yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Pulau ini benar-benar mencuri hati saya. Teriknya matahari terkalahkan oleh pemandangan yang terhampar didepan mata. Sempatkan untuk berkeliling, anda bisa menemukan bintang laut berwarna biru dipinggir pantai. Kebetulan hari itu pengunjung pulau Kodingareng Keke tidak terlalu banyak, jadi serasa ada di pulau pribadi. Meskipun pulau ini tidak berpenghuni, tetapi ada satu dua nelayan yang kerap singgah di pulau Kodingareng Keke. Menurut mereka, pulau ini dulu pernah berpenghuni tetapi kemudian, sang penghuni pergi meninggalkan pulau setelah rumah mereka roboh terkena abrasi pantai. Sisa-sisa pondasi rumah masih terlihat dipinggiran pantai.

Welcome to my paradise ;-)
Di pulau ini, untuk pertama kalinya dalam hidup saya mencicipi lauk yang biasa dimakan nelayan. Mereka menyebutnya kerbau laut atau tedong laut. Tedong laut adalah sejenis kerang hias besar yang diolah hanya dengan dibakar saja tanpa bumbu apapun. Pak Saeful, salah seorang nelayan yang kebetulan singgah di pulau membakar beberapa tedong dan mengupas cangkang tedong sebagai hadiah buat saya. Duh jadi terharu banget diberi hadiah oleh nelayan. Tanpa sungkan, saya ambil tedong yang sudah dibakar dari tangan pak Saeful dan langsung melahapnya. Awalnya saya sempat membatin, seperti apa ya rasanya. Ternyata setelah satu tedong meluncur kedalam mulut, saya malah ketagihan! Rasanya gurih sekali...., seperti escargot. Hmmmm pantas saja ya nelayan punya stamina yang tinggi, makanan mereka berprotein tinggi dari alam. Selesai makan siang, saatnya merebahkan badan diatas hammock yang sudah tertata manis. Aahh…indah sekali dunia saya saat itu rasanya, berayun-ayun diatas hammock dengan pemandangan pasir putih dan laut biru didepan mata serta semilir angin pantai. Samar-samar lagu welcome to my paradise terdengar ditelinga, OK itu halusinasi saya yang terlampau menikmati suasana yang luar biasa relaksnya. Bak di pulau pribadi! No work…no phone call….no email….benar-benar menikmati alam. Oya, di pulau ini sinyal provider apapun nyaris tidak bisa tembus. Ada bagusnya juga, jadi waktu untuk menikmati pulau tidak terganggu oleh komunikasi apapun bentuknya.

Tedong laut. Berani coba?
Sebelum pulang kami sempatkan untuk kembali snorkling di beberapa spot. Untuk para pengunjung, sebaiknya baca aturan yang ada di pulau Kodingareng Keke agar tidak belajar snorkling di area yang padat karang karena dalam setahun karang hanya mampu tumbuh sebesar 1cm saja. Selain itu pengunjung juga dihimbau untuk menjaga kebersihan pulau. Kesal rasanya melihat ada sampah botol plastik, puntung rokok maupun botol beling dibeberapa sudut pulau. Apa sih susahnya mengutip sampah sebelum meninggalkan pulau.

Tepat pukul 3 sore, saya bertolak kembali menuju kota Makassar. Petualangan 3 pulau sudah usai, tetapi semua kenangan masih terekam kuat dan terus berputar-putar dalam ingatan. Rasa lelah yang muncul langsung lenyap saat mengingat betapa indah maha karya sang Pencipta yang sudah menurunkan tetesan-tetesan surga di bumi Sulawesi Selatan.

Terimakasih tak terhingga untuk kawan-kawan baru saya di Makassar, Firman, Arief dan Ipang yang telah memandu menjelajah alam bawah laut pulau Samalona dan Kodingareng Keke yang mempesona. Buat hammocknya yang sudah membuai saya ke alam khayal, buat minuman coklat milonya yang dibuat dengan menggunakan kompor Trangianya yang lebih mahal dari harga kompor saya dirumah. Tanpa kalian liburan saya tidak berarti apa-apa. Kalian sudah membuktikan keramahan sejati orang Makassar dan kepiawaian kalian melakukan free dive sudah tidak diragukan lagi. Tunggu saya kembali ke kota ini ya!

Jappa-jappa (Jalan-jalan) di kota Makassar Dalam 6 Jam

Memiliki waktu hanya 6 jam di kota Makassar yang dikenal sebagai kota “Anging Mamiri” bukan berarti cuma bisa berdiam diri di hotel tempat menginap. Dalam 6 jam saja ternyata banyak tempat yang bisa disambangi. Gak percaya? Cek tulisan berikut ini.

Fort Rotterdam di pagi hari, cantik!
Jam 8 pagi jalan-jalan dimulai. Tujuan pertama adalah benteng Rotterdam. Benteng yang awalnya bernama benteng Ujung Pandang ini berdiri sejak tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-10 terletak dijalan Ujung Pandang no 2. Sebetulnya tidak ada tiket masuk ke benteng ini, tetapi pengunjung diminta untuk memberi sumbangan serelanya. Benteng dengan dinding bercat kuning langsat terlihat kontras berpadu dengan beberapa daun jendela dan pintu yang berwarna merah. Di benteng ini terdapat ruang tahanan Pangeran Diponegoro. Fort Rotterdam memiliki museum dengan nama yang unik “La Galigo” yang diambil dari nama karya sastra klasik dunia yang besar dan terkenal. Pertimbangan lainnya, nama La Galigo sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. La Galigo adalah seorang tokoh legendaris putra Sawerigading Opunna Ware dari pernikahannya dengan We Cudai Daeng Ri Sompa. Setelah dewasa La Galigo dinobatkan menjadi Payung Lolo (Raja Muda) di kerajaan Luwu yang merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Saya terkesan melihat Museum La Galigo cukup terawat, terlihat betapa masyarakat Makassar begitu mengapresiasi sejarah mereka ditempatnya sendiri. Isi museum seperti pada umumnya memuat koleksi benda-benda bersejarah yang tersimpan apik didalam lemari kaca. Ada juga baju tradisional dan kain songket Makassar yang terkenal kehalusannya.  Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi benteng Rotterdam yang saat terekam kamera tampak begitu dramatis antara bentuk bangunan kolonial berpadu dengan birunya langit. Cantik, bak lukisan!

Pinisi, kapal nenek moyang
Konon asal usul nenek moyang kita yang seorang pelaut berasal dari Makassar. Pelaut Makassar terkenal kehebatannya mengarungi luasnya samudera dengan Kapal kayu tradisional yang disebut Kapal Pinisi. Maka pelabuhan Paotere menjadi tempat kedua yang dikunjungi. Pagi hari hiruk pikuk di pelabuhan Paotere sudah terlihat. Beberapa kapal Pinisi sedang melakukan bongkar muat dan perbaikan. Beberapa kapal lainnya tampak sedang istirahat bersandar saja di pelabuhan. Sementara itu di sisi lain dari pelabuhan Paotere tampak sekumpulan anak-anak kecil sedang berenang riang gembira bersama di laut. Tidaklah heran kalau label pelaut ulung dilekatkan pada orang Makassar. Laut menjadi taman mereka bermain semenjak kecil rupanya.  Puas mengamati aneka kapal Pinisi yang sedang berlabuh, kaki kembali melangkah menuju tempat berikutnya.

Mesjid Raya Makassar, bak istana.
Mesjid Raya Makassar yang didominasi warna putih terlihat seperti istana yang berdiri anggun dibawah langit biru berawan putih. Sejenak saya terpana…., dimata saya mesjid ini tampak bak istana yang ada di dongeng-dongeng negeri timur tengah. Satu persatu saya menapaki tangga mesjid yang megah ini. Pada salah satu dinding terdapat daftar nama panitia pemugaran Mesjid Raya Makassar yang dilakukan pada tanggal 16 Juni 1976. Nama H. Kalla dan H. Drs. Yusuf Kalla ada didalam daftar. Mesjid ini sendiri kemudian diresmikan oleh H. Yusuf Kalla dibulan Mei 2005 saat beliau menjadi Wakil Presiden RI. Mengintip ke bagian dalam mesjid, saya mendapati sebuah Al-Quran besar dengan ukuran 1m x1,5m dan berat 544kg. Al-quran ini dikerjakan selama 12 bulan lamanya dan ditempatkan dalam kotak kayu jati yang sudah dikeringkan selama 1 bulan agar tahan hingga ratusan tahun. Subhanallah…

Mesjid Apung Amirul Mikminin
Selain Mesjid Raya Makassar, ada dua mesjid lagi yang wajib untuk dikunjungi. Mesjid apung Amirul Mukminin yang terletak dipinggir pantai Losari. Mesjid mungil dengan kubah biru yang menjorok ke laut ini disangga oleh tiang-tiang kokoh menjadikannya terlihat cantik dan menjadi icon baru di pantai Losari. Mesjid selanjutnya adalah Al Markaz yang merupakan mesjid terbesar se Asia Tenggara. Konon tinggi tiang menara mesjid Al Markaz menyamai tinggi menara Masjidil Haram. Luar biasa….

Mayoritas penduduk di Makassar adalah muslim, tetapi jangan heran jika disini tempat-tempat ibadah agama lainnya dengan mudah bisa ditemui. Agaknya kerukunan hidup beragama sudah tertanam dengan baik disini. Saat saya mengambil gambar-gambar tempat ibadah seperti gereja dan klenteng pun mereka tidak melarang, malah mempersilahkan. Tentu saja saya paham aturan mengambil gambar ditempat ibadah, tidak boleh memotret dari depan saat umat sedang menjalankan ibadah dan tidak mengganggu umat yang sedang beribadah.

Klenteng Xian Ma
Klenteng pertama yang disambangi adalah Yayasan Marga Thoeng, sejak tahun 1898. Sayangnya hari itu klenteng sedang tidak dibuka, jadi saya hanya bisa mengambil gambar pintu klenteng yang berwarna merah dengan hiasan beberapa lampion diatasnya. Beberapa meter dari Yayasan Marga Thoeng, ada Klenteng Kwan Kong. Kali ini cukup beruntung. Klenteng sedang dibuka dan beberapa umat tampak sedang sembahyang didalamnya. Klenteng ini tampak kental nuansa orientalnya dengan ornamen patung singa yang sedang duduk sambil menggenggam bola dikaki kanannya. Di bagian dalam klenteng terdapat lonceng besar berwarna emas dengan tulisan china berwarna merah pada badan lonceng. Sementara pada altar untuk sembahyang yang berwarna merah, tampak beberapa lilin dan sesaji seperti minuman dan buah-buahan diatasnya.

Keseruan belum berakhir, hanya berjarak beberapa belas meter saja tiba di Istana Naga Sakti Klenteng Xian Ma. Uniknya klenteng Xian Ma diresmikan oleh H. Syahrul Yasin Limpo yang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2009. Nah, sekali lagi bukti kerukunan antar umat beraga terlihat disini. Berseberangan dengan Klenteng Xian Ma, tampak Vihara Ibu Agung Bahari. Bagian depan vihara tampak dihiasi dengan lampion berwarna merah dengan beberapa pilar berukir menopang canopy teras vihara.

Gereja Katedral
Tempat terakhir yang dikunjungi adalah gereja Katedral. Sengaja saya memilih gereja sebagai tempat terakhir untuk dikunjungi agar tidak mengganggu umat kristiani yang sedang melakukan ibadah minggu. Pagi itu gereja Katedral tampaknya sedang mempersiapkan pohon natal yang besar. Di depan gereja terlihat rangka besi yang menyerupai pohon cemara. Bangunan gereja Katedral ini cukup mungil ukurannya. Dindingnya berwarna coklat muda beraksen atap dengan warna coklat yang lebih tua, terlihat klasik dan tidak berlebihan. Sederhana namun tidak mengurangi keanggunannya.

Waah ternyata jappa-jappa atau jalan-jalan dalam Bahasa Makassar selama 6 jam cukup banyak juga tempat yang bisa disambangi ya. Meskipun matahari terik tetapi angin sepoi-sepoi membelai seakan meredakan teriknya sengatan matahari. Tidak salah kalau kota Makassar dijuluki sebagai kota “Anging Mamiri”. Sampai bertemu lagi kota Makassar, semoga tahun depan saya bisa kembali lagi!